separate
Lestarikan Budaya dan Bahasa Daerah Cirebon Dengan mengeksplorasi Kekayaan Ragam Budaya Cirebon
banner ad
logo
yudi sayidi, S.PdI,_smpn1awn.blogspot.com

Pengertian BABAD


1
...

PENGERTIAN BABAD



Tradisi penulisan babad telah dimulai sekitar abad ke-16. jika kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan perpanjangan masa lampau, maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada masa kini semestinya dapat dipahami dan dikembangkan dengan memperhatikan latar historisnya (kehidupan masa lampau). Hal ini berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa lalu, misalnya tentang buah pikiran, pandangan, dan nilai-nilai yang pernah hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu babad mempunyai peranan penting. Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah bagaimana cara kita memandang, memahami, dan memerankan babad pada kehidupan masa kini. Hal inilah menurut hemat saya perlu didiskusikan pada kesempatan ini.



A. APA ITU BABAD?



Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah-daerah lain seperti sulawesi Selatan, babad disebut lontara; di Sumatera Barat dikenal dengan istilah Tambo; di Kalimantan, Sumatera, dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, silsilah, sejarah; di Burma dan Thailand dikenal dengan istilah kronikel (Soedarsono, 1985). Ada bermacam-macam pengertian babad. Menurut Danu Suprapta (1976), babad adalah salah satu jenis sastra sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam, antara lain berdasarkan nama diri, nama geografi, nama peristiwa, atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional sebagai suatu bentuk dari suatu kultur yang membentangkan riwayat, dimana sifat-sifat dan tingkat kultur mempengaruhi bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad merupakan cerita sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah. Teeuw (1984), menjelaskan babad sebagai teks-teks historik atau genealogik yang mengandung unsur-unsur sesusastraan. Demikianlah ada bermacam-macam pengertian babad. Akan tetapi, pada prinsipnya babad merupakan teks-teks historis yang dikemas dengan unsur-unsur kesusastraan.



B. HAKIKAT BABAD

Babad merupakan titik temu antara sastra dan sejarah. Realitas dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Makna realitas itu telah menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad tidaklah mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali, menafsirkan dan membayangkan hal-hal sejarah dan bukan sejarah dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh karena itu babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku dalam kebudayaan Bali pada masa itu. Dengan demikian, seorang penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara factual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi dalam membaca babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan story. Rekaan bukan merupakan lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektik, yakni tiruan tidak mungkin tanpa kreasi dan kreasi tidak

mungkin tanpa tiruan. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai karena beberapa hal, yaitu :

1. Fakta-fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentaris.

2. Penulis babad mau tidak mau berlaku selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevannya. Ia harus memilih, dan

kriteria objektif untuk penyeleksian tidak ada sehingga

cenderung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang

seharusnya ditulis.

3. Penulisan babad adalah manusia yang latar belakang,

kecenderungan, dan pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan

oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia

sosio-budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).



C. SIFAT BABAD

Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti tersebut di

atas, maka babad memiliki sifat-sifat :

1. Sakral – magis ( dikeramatkan ),

2. Religio – magis ( mengandung kepercayaan ),

3. Legendaris ( berhubungan dengan alam semesta ),

4. Mitologis ( berhubungan dengan dewa-dewa ),

5. Hagiogrfis ( mengandung kemukjizatan, menyimpang dari

hukum alam ),

6. Simbolis ( mengandung lambang-lambang, kata-kata keramat,

atau bhisama, benda-benda keramat ),

7. Sugestif ( mengandung ramalan, suara gaib, tabir mimpi ),

8. Istana sentris ( berpusat pada kerajaan ),

9. Fragmentaris ( tidak lengkap ),

10. Raja – kultus ( pengagungan leluhur ),

11. Lokal ( bersifat kedaerahan ), dan

12. Anonim ( tanpa nama pengarang ).



D. PERANAN DAN FUNGSI BABAD PADA

MASYARAKAT BALI MASA KINI

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad padahakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif kenyataan,atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu, tetapi berada di balik peristiwa. Sebagai produk budaya, sekiranya babad dapat dilihat sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui simbolisasi dari nilai-nilai atau konsep-konsep sosio-religius yang mendasar struktur sosialnya. Hal ini penting teruatama ditinjau dari segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad sebagai sinbol digunakan oleh orang Bali berinteraksi satu sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad dapat dipandang sebagai konsepsi-konsepsi orang Bali dalam menghadapi kehidupan dan lingkungannya demi eksistensinya secara historis. Kecuali itu, babad juga dapat dipandang sebagai suatu abstraksi tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali. Dalam konteks inilah hal-hal penting dalam babad, seperti bhisama dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan mengingat peristiwa-peristiwa histories dengan segala konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami dan mem berikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki hukumnya sendiri tidak harus sama dengan realita dalam fakta. Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat dalam perpaduan mimeis dan creatio. Tidak hanya itu, babad sebagai genre sastra juga merupakan perpaduan antara etika dan estetika. Oleh karena itu fakta dan data yang tersedia dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad sebagai penyusun sejarah, semestinya harus memalui kritik sumber, babad dibaca secara berdampingan dengan sumber-sumber lainnya.

Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu, fungsi babad antara lain :



1. Berfungsi melegitimasi ( mengesahkan ) asal-usul / silsilah leluhur, kejadian/peristiwa, desa, pura, atau hal-hal lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor-faktor kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menemtukan satu sama lain. Unsur-unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya

menambah kekeramatan dan kewibawaan tokoh atau peristiwa yang di legitimasi.

Di samping itu, babad berfungsi sebagai penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan (sraddha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus ditemukan dalam kehidupan masyarakat Bali karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut lebih sengsara. Tapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula yang diamanatkan dalam petikan kekawin Ramayana di

atas, bahwa untuk dapat menjadi seorang Gunamanta (memiliki kebajikan) seperti Sang Dasaratha, maka kita diwajibkan berbhakti kepada leluhur ( tar

malupeng pitrapuja )di samping bertakwa kepada Tuhan ( bhakti ring dewa ).

Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun pada keturunan (pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing-masing. Dalam tataran

ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme kontrol bagi tingkah laku orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran-ajaran leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian karena hampir pada setiap babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan keturunannya untuk hidup terkotak-kotak, membatasi diri

terhadap lingkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang

Bali sebagai makhluk sosial. Dalam tatanan ini, babad merupakan kepaduan

antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha pemahaman konfrehensif, baik terhadap manusia, dunia, maupun Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang tersembunyi dalam struktur-struktur pengalaman manusia (leluhur masa lalu).



Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad sehingga tumbuh kesadaran yang terreflaksikan dalam bentuk pelaksanaan dharma masing-masing (dharma agama dan dharma negara) meniru jejak para leluhur itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya dengan baik.



Dalam rangka inilah kerap kali terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak dan melupakan kewajiban yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena itu sering terjadi konflik, baik internal maupun eksternal. Babad juga berfungsi sebagai inspirasi seni. Cabang seni lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber pada teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya keseimbangan yang mampu menunjukkan ciri khas babad yang membedakannya dengan teks-teks yang lain. Ciri khas tersebut antara lain berupa legitimasi, genealogi, simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti. ***









DWIJENDRA TATTWA

Om ksantawiya ta sang hulun, tan

kawrateng capa tulah, mangasta wa

Danghyang mangke, Danghyang

Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa

kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda

mantra tembang kidung, solah bawa

tatacara, lawan pancayajna kabeh,

Dewa yajneka maka di, gumawe

treptining kahyun, raharja

jiwatmaningong, mogha Danghyang

tulus asung, mangacraya risang hulun,

sidharekang don, swa nagara trpti

winong.



Artinya :

Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga

tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena

kami kini memuja Dang Hyang

Dwijendra yang merupakan guru suci,

yang menganu-gerahkan ajaran ilmu

pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan

Hindu Bali, Weda Mantra dan

nyanyian-nyanyian tingkah laku

peradaban hidup, dan lima yadnya,

seperti Dewa Yadnya, yang membuat

ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa

kami, semoga roh suci Dang Hyang

tetap belas kasihan, membantu kami,

berhasillah cita-cita kami, negara kami

selamat sejahtera diselenggarakan.









(1) DAHA



Tersebutlah seorang keturunan Brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka, putra dari dang Hyang Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha, putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami istri, Sang Nirartha dilantik (didiksa) oleh Dang Hyang Panawaran menjadi pendeta (Brahmana Janma) diberi gelar Dang Hyang Nirartha. Dari perkawinan ini Dang Hyang Nirartha mendapat dua orang putra-putri, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh atau barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya.



(2) PASURUAN

Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau, karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuranpertempuran, perumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya (sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan leluhurnya dengan agama baru yaitu agama Islam sama saja hakikat tujuannya. Yang berbeda adalah cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya, serta tata tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Oleh karena itu orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit, banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali.



Ketika itulah Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan.Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar

menyingsing.



(3) BRAMBANGAN (BANYUWANGI)



Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang putra-putrinya namun istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau itu turunan raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten. Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti tenag dan disiplin air).



(4) MPULAKI / DALEM MELANTING



Setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat tinggal di Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik

hubungan Dang Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru, karena raja mengandung benci dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang

didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Dang Hyang Nirartha harum sebagai minyak mawar. Tiap-tiap orang turut berdekatan dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik wanita Sri Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang, sebab itu Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten. Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya mengarungi laut selat Bali yang disebut Segara Rupek. Sang pendeta sendiri waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu apa.



Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu meengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan tidak akan mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada turunanturunannya. Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa Mejaya. Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta telah sampai terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya sambil menggembala sapi. Di tempat itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura kecil lalu dinamai Purancak. Atas petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anakistrinya berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar. Di tengah perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (lisikan;bali) yang mana harus dituruti, karena banyak cabangnya. Tiba-tiba muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan. San pendeta berkata kepada kera itu :

“Hai kera, semoga turun-turunanku kelak tidak boleh menyakiti kera dengan dalih memelihara”, demikian pastu beliau terus berjalan ke arah timur bersama anak-istrinya.



Tiba-tiba bertemu dengan naga yang besar terbuka mulutnya sangat lebar dengan rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan namun sang pendeta dengan wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya beliau di dalam perut naga itu, dijumpainya sebuah telaga yang berisi bunga tunjung (teratai) tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur berwarna putih, yang di pinggir selatan merah, yang di pinggir utara hitam. Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di. Putra-putri dan istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna mas.Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masingmasing membawa dirinya sendiri.



Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung tidak jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan lagi. “Wahai Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana larinya anakanak kita?” “Ampun sang Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya anak-anak kita, karea mereka lari tak berketentuan dan berpencar masing-masing dengan kehendaknya sendiri-sendiri. Hamba tidak dapat mengejar mereka karena lesu kepayahan,” jawab istri beliau. Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya. Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama putra-putrinya itu. Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan. Mpu Dang Hyang disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari, ditemuinya telah berbadan halus (astral). Tampat rupanya pucat lesu. “Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang Hyang Nirartha. “Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa. “Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,– sebentar merah, sebentar hitam. Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa, lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri,

penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba

bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di surga, tidak lagi

menjadi manusia....” Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “janga khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.”



Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi (Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di sana. Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada putrinya, didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara tiba-tiba musnah dosa cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang manusia perempuan yang memohon agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang Hyang dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan dosanya dan ia bisa kembali menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi nama Ni Berit. Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta. “Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajar hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.”



Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia biasa. Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang. Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang. Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang

Hyang mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan penghuninya sekalian.





(5) GADING WANI



Kemudian Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang penyakit sampar (grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk bersila menyembah. “Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak.Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya. Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya.



Dang Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.



Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya. Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam laut, rupanya beraneka ragam. Orang desa banyak yang turun menyaksikan pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang pendeta.



Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama). Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orang orang desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing agama di sana. Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani. Setelah itu diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” . Ki Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh) menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen berama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra menerimanya.



(6) PURA RESI DESA MUNDEH



Entah berapa waktu lamanya Pedanda Sakti Wawu Rawuh berasrama di desa Wani Tegeh. Maka tersebarlah beritanya sampai ke desa Mas, Gianyar, yaitu sanak saudaranya Ki Bendesa Gading Wani yang bertempat di Mas, dan sanak keluarganya di desa Mundeh, Kaba-Kaba. Pada suatu hari Ki Pangeran Mas mengadakan persiapan untuk pergi ke desa Wani Tegeh atau Gading Wani untuk memberitahu Dang Hyang agar sudi datang ke Mas. Sang pendeta menyetujui. Lalu berangkatlah sang pendeta bersama putra-putrinya dari desa Wani Tegeh menuju desa Mas. Setelah tiba di desa Mundeh , beliau dijemput oleh Ki Dendesa Mundeh di tengah jalan dengan suatu maksud mohon berguru pada sang pendeta, tetapi ditolak oleh sang pendeta karena permohonannya itu dilakukan ketika sedang ada di jalan. Tetapi oleh karena amat khidmat baktinya Ki Bendesa menjemput beliau, maka ada juga anugerahnya, yaitu debu tapak kaki beliau ketika beliau berdiri berhenti di tempat itu, laksana suatu lingga yang harus dihormati oleh

orang-orang mundeh sampai kemudian. Ki Bendesa Mundeh amat senang

hatinya menerima anugrah pendeta itu. Di tempat itu lambat laun dibangun

sebuah pura bernama PURA RESI atau PURA GRIA KAWITAN RESI.



(7) MANGA PURI (MANGUI)



Dari desa Mundeh sang pendeta berangkat ke arah timur laut. Di tengah jalan beliau bertemu dengan sebuah aliran sungai. Di pinggi sebelah

baratnya ada sebuah mata air. Airnya sangat suci dan sejuk. Di pinggirannya

terhias dengan bunga-bungaan yang sedang mekar. Menebarkan bau harum yang menyedapkan penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus gugur dari

kuntumnya menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari, sungguh-sungguh menggugah rasa indah nikmat mesra membatin. Sang pendeta berhenti di tempat itu, dengan tenang melakukan yoga semadhi disertai pujastuti dan japa mantra utama. Dan di sekeliling beliau itu disebut Mangopuri (Mangui).



(8) PURA SADA



Tidak lama sang pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa

Kapal turunan dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta ada di Mangopuri

(Mangwi). Maka cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang menghadap Mpu Dang Hyang untuk menghaturi agar beliau berkenan singgah di sana serta menjelaskan bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih Gajah Mada yang berisi perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan yang ada di Bali, dan pada waktu itu kebetulan ada karya pujawali (odalan) di Pura Sada Kapal. Demikian isi permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang pendeta memenuhi permohonannya dengan senang hati dan berangkat saat itu juga.



Tiada diceritakan bagaimana beliau di tengah jalan. Akhirnya tibalah sang pendeta di dea Kapal lalu masuk ke dalam pura serta duduk di balai piasan di sebelah barat. “Kaki Arya,” panggil Dang Hyang kepada Ki Bendesa. “Siapakah yang akan menyelesaikan karya pujawali Bhatara di parahyangan ini?” “Singgih Mpu Dang Hyang,” jawab Ki Bendesa. “Tiada lain Mpu Guto kami aturi di gunung Agung, untuk menyelesaikan karya pujawali ini.” “Ki Arya,” panggil sang pendeta. “Ki Guto itu adalah pelayanku yang disangka pendeta Brahmana. Ia adalah penjelmaan gandharwa yang terkutuk dahulunya. Yang harus diselesaikan olehnya segala caru yang kecil dan untuk upacara selamatan sawah ladang, demikianlah hak wewenangnya.” Ujar sang pendeta. Tidak lama antaranya maka datanglah rakyatnya yang diutus pergi ke gunung Agung mengaturi Ki Guto, memikul Ki Guto dengan tandu pegayotan serta berpayung agung dan langsung masuk ke dalam parahyangan pura Sada. Demi dilihat Dang Hyanh Dwijendra duduk di balai piasan, maka Ki Guto cepat-cepat turun dari tandu duduk bersimpuh di hadapan sang pendeta seraya mohon ampun atas kesalahan tingkah lakunya. “Hai Guto, mulai sekarang kamu jangan menipu masyarakat umum. Aku mengampuni kesalahanmu,” ucap sang pandita. Demikianlah kata sang pandita kepada Ki Guto, kemudian menoleh

kepada Ki Bendesa. “Kaki Arya, ketahuilah bahwa aku yang mengutus Ki Guto pergi ke Bali untuk menyelidiki Dalem Sri Watorenggong, telah lama tidak muncul lagi ke Jawa. Kini urungkan Ki Guto menyelesaikan upacara pujawali di sini!” perintah Dang Hyang. “Yang patut dihadapinya adalah korban (caru) terutama pada waktu tileming kesanga (bulan mati pada bulan kesembilan pada kalender Bali, sekitar bulan Maret-April), anangluk mrana (pengusir hama), mebalik sumpah di sawah ladang, dan amugpug desti teluh tranjana (menghalau sebangsa ilmu hitam). Itulah wewenangnya. Jika ditugaskan untuk pujawali persembahyangan Dewa di pura-pura, panas kesakitan masyarakat desa olehnya.” Ki Guto dan Ki Bendesa menyembah berulang-ulang. Dang Hyang Dwijendra dihaturi memuja menyelesaikan upacara pujawali di Pura Sada, sedang Ki Gito disuruh memuja pada upacara korban (pecaruan).



(9) DESA TUBAN



Setelah selesai upacara odalan di Pura Sada, maka sang pendeta bersama putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi ke arah selatan, tiba di

desa Tuban di daerah selatan Badung. Beliau dijemput oleh orang-orang desa Tuban. Semuanya dengan hormat dan tulus ikhlas menghaturkan hidangan santapan kepada sang pendeta dan putra-putrinya semua. Sementara sang pendeta diam di sana, banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah karena kasidhian (kesaktiak) Pedanda Sakti Wawu Rawuh itu. Demikian juga tanamtanaman dan segala sesuatunya menjadi baik semuanya.



Pada suatu hari sang pendeta dan putra-putrinya dihaturi hidangan yang penuh dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta bersama putraputrinya dengan senang menikmati hidangan yang luar biasa itu. Setelah bersantap ada masih tersisa ikan separo. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta lalu dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu hidup kembali dan diberi nama ikan tampak (telapak), oleh karena dagingnya habis sebagian. Ikan tampak itu diberi mantra suci oleh Dang Hyang Nirartha dan diumumkan kepada orang-orang yang ada di sana, apabila kemudian ada orang magawe hayu (melaksanakan upacara untuk kesejahteraan), ikan itu boleh digunakan sebagai isi sesajen suci. Orang-orang desa Tuban yang kebetulan ada di tempat itu melihat dan menyaksikan keadaan yang sedemikian itu, semuanya tercengang, heran takjub dengan kesaktian sang pendeta itu. Kemudian sang pendeta mengajar dan menasihati orang-orang desa Tuban membuat pukat (bubu) tanpa umpan agar banyak mendapat ikan dengan cara diam-diam.



(10) ARYA TEGEH KURI



Kurang lebih tujuh hari lamanya sang pendeta di desa Tuban, maka datang Kyayi Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta bersama putra putrinya agar sudi simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah sang pendeta diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri. Setibanya di desa Buangan terpaksa beliau berhenti dalam sebuah parahyangan pura Batan Nyuh karena dihalangi oleh banjir besar. Banyak orang yang datang mengahadap dari sebelah timur jalan memalui jembatan gantung, semuanya menyembah serta memohon pengalah air oleh karena rumah-rumah mereka dilanda banjir. Sang pendeta belas kasihan kepada orang-orang yang kena bencana alam kebanjiran itu. Lalu beliau memberikan sepotong kayu anceng (tongkat) yang telah dirajah Sang Hyang Klar, disuruh agar dipancangkan di muara banjir itu. Dengan tiba-tiba, menggelombang naik air itu lalu bertolak lari ke barat memutus jalan. Sangat heran orang-orang yang melihat tentang kekuatan batin sang pendeta demikian itu. Orang-orang desa berdatangan menghaturkan buah-buahan dan antapsantapan lainnya. Tidak diceritakan lebih lanjut tentang sang pendeta di tengah jalan, akhirnya tiba di puri Arya Tegeh Kuri di Badung.



(11) DESA MAS



Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang Ki Pangeran Mas menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke desa Mas. Dang Hyang Dwijendra bersama putra-putri dan dua orang pelayan beliau pergi ke desa Mas. Di sana beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang baik, sehingga menetap sang pendeta , diam di desa Mas. Lama-kelamaan Ki Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita yang amat cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang pendeta bersama Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas yang bernama Sang Ayu Mas Genitir. Kemudian setelah itu Pangeran Mas dibersihkan (didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta dan telah lama paham tentang Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin. Setahun telah berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang Nirartha dengan Sang Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida Putu Kidul. Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan Geleng menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi gading mas asal tanamannya sendiri kepada Dang Hyang Dwijendra. Kata Dang Hyang waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga Pan Geleng kaya sampai seturun-turunannya kelak.”



(12) PERGAULAN HIDUP BRAHMANA

WANGSA



Diceritakan pada suatu hari sang pendeta memangcing di taman, berdiri di tengah telaga, kakinya beralas daun tunjung (teratai), bisa mengambang dan tidak tenggelam. Setelah banyak mendapat ikan, sang pendeta berhenti memancing, lalu mandi menyucikan diri, kemudian melakukan Surya Sewana. Setelah selesai, sang pendeta dihaturi hidangan santapan. Setelah beliau selesai bersantap maka keempat putranya disuruh meneruskan menkmati. Empat orang putranya yaitu Ida Putu Kemenuh (Daha), Ida Putu Manuaba (Pasuruan), Ida Putu Telaga (Brambangan), dan Ida Putu Mas (desa Mas), yang yang biasa disebut Kulwan, Lor, Wetan, dan Kidul. Sedang para putranya itu menikmati hidangan maka sang pendeta

memberikan nasihat. “Anakku semuanya, engkau boleh saling cuntakain sampai turunturunanmu kemudian. Saling cuntakain artinya tenggang rasa, gotongroyong, bela-membela, dalam keadaan suka-duka hidup di dunia. Apabila seseorang berduka maka semuanya harus berbelasungkawa. Tentang perkawinan boleh ambil-mengambil. Tiap orang yang lebih tua dan pandai boleh dipakai guru (nabe). Jika kemudian engkau lupa akan ikatan bersaudara, semuga salah satu di antaranya yang melanggar amanatku ini turun da surut derajat kewibawaannya.” Demikian amanat sang pendeta.



Lama-kelamaan terjadi hal yang agak ganjil mungkinkarena kodrat Tuhan, yaitu Dang Hyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu Mas anak dari Ki Bendesa Gading Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya berputra seorang laki-laki bernama Ida Wayan Sangsi atau Ida Patapan. Lain dari itu, pelayan yang bernama Ni Berit pada suatu malam dijumpai sedang mengeluarkan air kencing sebagai air pancuran sehingga menembus tanah sampai sehasta dalamnya, lalu dijamah juga oleh sang pendeta, kemudian melahirkan seorang putra laki-laki diberi nama Ida Wayahan Tamesi atau Ida Bindu.



Diceritakan setelah dua orang putranya terakhir sama-sama besar,

sang pendeta pagi-pagi pergi pula ke suatu telaga di taman untuk memancing

ikan, berdiri di tengah telaga beralas daun tunjung, tetapi daun tunjung itu tenggelan sepergelangan kaki sang pendeta, dan terlihat oleh beliau ikan kakul (siput) yang telah disantap dagingnya, sisanya dilemparkan ke dalam telaga, lalu hidup kembali. Dalam keadaan seperti itu menyelinap suatu perasaan ke dalam hati sanubarinya, bahwa dua orang putranya yang terakhir

ini akan surut perbawanya. Setelah selesai memancing lalu beliau bersiram menyucikan diri, kemudian pulang dan masuk ke tempat pemujaan, lalu melakukan pemujaan seperti biasa. Setelah keluar dari tempat memuja maka dihaturi hidangan untuk bersantap.



Setelah sang pendeta habis bersantap maka dipanggil putranya keenam orang untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan. Putra putranya berenam telah siap untuk makan bersama (magibug) satu hidangan, demi masing-masing telah menggenggam nasi kepelan di tangannya, maka tiap-tiap alat makan itu berkontak berkelahi dengan kawan-kawnnya. Ada yang bertarung, ada yang jatuh, ada yang berbenturan di dulang, yang kalah membalas pula dan lain sebagainya sehingga alat-alat makan itu berantakan. Hal itu dilihat oleh sang pendeta, lalu orang disuruh membawakan lagi makanan dua hidangan yang berlain-lainan. Setelah siap, maka Ida Wayahan Sangsi (Ida Patapan) makan menjadi satu hidangan, dikumpulkan dengan Ida Bindu. Sedang putranya empat orang lagi makan menjadi satu hidangan.

Dengan keadaan yang demikian maka tentramlah keadaan masing-masing, asyik menikmati hidangan dengan sepuas-puasnya tidak ada suatu sengketa pun yang terjadi. Sementara sang pendeta memberikan nasihat, “Anakku sekalian, dengarkanlah nasihatku baik-baik. Anakku Putu Sangsi dan Putu Tamesi dalam kehidupanmu turun-temurun boleh sembah-kasembah dan boleh ambil mengambil istri, tetapi dalam turun-turunannya anak-anakku empat orang lagi, (yaitu Putu Kulwan, Putu Lor/Manuaba, Putu Wetan, dan Putu Mas) tidak boleh. Tetapi engkau Putu Sangsi dan Putu Bindu seturun-turunanmu boleh menghaturkan sembah, menghaturkan putri dan berguru kepada saudara-saudaramu yang empat orang ini dan turun-turunannya, sebab ibumu adalah orang-orang pelayan. Demikianlah harus diingat benar-benar amanatku ini. Siapa yang melanggar akan mendapat papa, surut wibawa danwangsanya.” Demikian amanat Dang Hyang Dwijendra.









(13) KI GUSTI PANYARIKAN DAUH BALEAGUNG



Lambat laun tersebar berita Dang Hyang sampai Ke Gelgel, bahwasanya ada seorang pendeta sakti baru datang disebut oleh umum Pedanda Sakti Wawu Rawuh, saktinya hampir sama dengan pendeta Loh Gawe. Sebab itu Dalem Watu Renggong (Raya Bali saat itu) sangat besar hasratnya untuk memanggil pendeta sakti itu untuk dijadikan gurunya. Pada suatu hari diutus Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung pergi ke desa Mas untuk menghaturi Dang Hyang agar datang ke Gelgel dan diharapkan dating esok harinya. Pada hari yang baik berangkatlah Gusti Penyarikan mengendarai kuda putih, berpakaian putih, hanya giginya saja yang hitam. Setibanya di desa Mas, dilihatnya Ki Bendesa Mas sedang menghadap sang pendeta di sebuah pendopo kecil, maka segera beliau turun dari kendaraan. KI Gusti Penyarikan segera duduk menghadap sang pendeta seraya memperkenalkan diri dan mempermaklumkan kedatangannya itu. Setelah banyak kata-katanya menceritakan keadaan di Bali kemudian timbul pikirannya hendak menyelami pengetahuan sang pendeta tentang ajaran pemerintahan negara.



Setelah sang pendeta menjelaskan tentang tata negara, Kyayi Panyarikan merasa sangat beruntung dalam hatinya, sebagai kodrat Tuhan mempertemukannya dengan seorang pendeta sakti dan ahli dalam bidang agama. Lalu mengajukan permohonan agar ia diangkat sebagai muridnya, berguru kepada sang pendeta, belajar rahasia ilmu ketuhanan dan akhirnya memohon dibersihkan dan dinobatkan sebagai Bagawan, pendeta ksatria. Sang pendeta berkekan mengabulkan permohonan Ki Gusti, pada malam harinya sang pendeta mengajarkan rahasia ilmu ketuhanan dengan yoga samadhinya dengan Weda mantra yang penting-penting. Ki Gustu memang sudah mempunyai dasar dan bakat yang baik tentang ilmu ketuhanan, karena usaha dan latihannya sendiri. Sebab itu ajaran sang pendeta cepat dapat ditampung dan dipenuhinya. Besok paginya kebetulan hari baik, beliau didiksa oleh sang pendeta menjadi Bhagawan. Setelah itu Mpu Dang Hyang lanjut memberikan nasihat dan ajaran penting kepada muridnya, sehingga kyayi Panyarikan terlambat sehari kembali ke Gelgel mengiring Dang Hyang Nirartha.









(14) PURA SILAYUKTI, TELUK PADANG



Pagi-pagi setelah dua malam lewat, maka Kyayi Penyarikan berangkat mengiring Pedanda Sakti Wawu Rawuh ke Gelgel sama-sama mengendarai kuda. Tiada diceritakan lagi di tengah jalan maka tibalah beliau di Gelgel. Tetapi sayang Dalem Watorenggong telah berangkat pagi-pagi ke teluk Padangbai untuk berburu binatang dan menangkap ikan diiringi oleh para mantri punggawa dan rakyat sangat banyaknya. Oleh karena demikian halnya maka terpaksa Ki Gusti Penyarikan mengiring Dang Hyang ke Teluk

Padang. Setibanya di Padang, sang surya telah lewat tengah hari, para punggawa mantri telah sama-sama mulai mencari pondoknya masing-masing. Kyayi Penyarikan mengiring Dang Hyang menuju pesanggrahan Dalem.



Dalem Waturenggong agak murka kepada Ki Penyarikan, katanya, “Kenapa sampai lewat janji baru datang?! Sebagai bukan orang tua. Penyarikan, antarkan Mpu Dang Hyang ke parahyangan Mpu Kuturan!” Setelah Dang Hyanh Nirartha beristirahat, datang Dalem Waturenggong menghadap bersama beberapa orang pelayan membawa santapan seraya berkata, “Selamat datang, Mpu, maafkanlah keadaan tempat yang tidak sepertinya ini, dan silakan menikmati santapan ala kadarnya.” Sang pendeta mengucapkan banyak terima kasih, lalu berkata, “Tuanku, maafkanlah Ki Penyarikan agak terlambat pada janjinya, sebab beliau ingin berguru dan mempelajari ilmu ketuhanan dan minta didiksa menjadi Bhagawan. Kami sedia melakukannya. Jangan tuanku kecewa karena belakangan, sebab soal agama tidak mengenal carikan atau sisa-sisa, karena agama adalah soal ketuhanan yang suci,” demikianlah kata sang pendeta. “tuanku, apakah hari ini tuan mendapatkan banyak ikan?” “Wah, kami benar-benar sial, tidak dapat seekorpun!” jawab Dalem Waturenggong. “Tuanku, cobalah sekarang perintahkan rakyat tuanku menangkap ikan dan berburu binatang, kiranya banyak berhasil,” kata sang Pendeta. Dalem menurut sang pendeta, memerintahkan rakyatnya mengulangi menangkap ikan dan berburu. Sebelum rakyat masuk ke laut akan menangkap ikan dan ke hutan akan berburu binatang, sang pendeta keluar dan berdiri di halaman memandang ke laut memanggil ikan dan memandang ke hutan memanggil binatang. Tidak berselang lama banyaklah ikan dan binatang tertangkap oleh rakyat. Dalem dan sang pendeta sangat gembira melihatnya. Setelah hari sore semua rakyat penangkap ikan dan pemburu binatang telah kembali ke tempatnya dengan membawa hasil yang sangat banyak, dan Sri Aji Bali dan sang pendeta kembali lagi ke pesanggrahan.



Pada malam harinya sampai larut malam Dalem Waturenggong bercakap-cakap dengan sang pendeta tentang agama. Tetapi soal mebersih (mediksa) Dalem masih berfikir. Besok paginya Dalem kembali ke Gelgel diiringi oleh seluruh menteri, punggawa, dan rakyat. Dalem duduk dalam satu pedati yang ditarik kuda bersama sang pendeta. Setibanya di kali Unda, jalan pedati berhenti karena air sungai sedang naik, banjir karena hujan di pegunungan. Kemudian sang pendeta membisikkan ajaran Aswa-Siksa, setelah Dalem mengerti dan paham tentang ajaran itu, terutama mantramnya, lalu diambil oleh beliau sebuah cambuk dan dilecutkannya dengan keras, maka ujungnya keluar api sedang pangkalnya keluar air amrta. Dalam keadaan seperti itu kuda mendobrak air sungai, kakinya tenggelam sepergelangannya dan akhirnya selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang melihat sangat heran. Tiada diceritakan lebih lanjut betapa iring-iringan raja Bali di tengah jalan, maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta ditempatkan di tempat yang suci dengan menikmati hidangan yang secukupnya. Dalem pada kesempatan ini menceritakan sikapnya, katanya, “Mpu Dang Hyang, sampai saat ini saya belum ada niat akan mediksa, karena telah merupakan surudan dari pangeran Dawuh.” Sang pendeta menjawa, “Tuanku, maklumilah seyakin-yakinnya, bahwa agama itu tidak ada yang merupakan surudan (sisa-sisa), kalau diandaikan sama dengan air yang diucurkan,” Sekalipun demikian penjelasan sang pendeta, namun Dalem Watorenggong tetap pada pendiriannya tidak mau mediksa.



(15) IDA BURUAN



Diceritakan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung yang telah berkedudukan sebagai pendeta Bhagawan acapkali menghadap kepada Dang Hyang untuk mendalami ajaran agama dan kebatinan sampai juga pada sastra, tembang-tembang bersanjak, pupuh, kidung, dan guru-lagu kekawin, sehingga pengetahuan Ki Gusti Bhagawan sungguh-sungguh padat dan suci. Lama kelamaan sebaga pengguru yoga (bakti kepada guru) beliau menghaturkan seorang putrinya yang cantik dan menaruh bakat agama serta kesusastraan kepada Dang Hyang. Dang Hyang Dwijendra menerima dengan senang hari pangguru yoga tersebut, lalu dinikahkan dengan putranya yang bernama Ida Putu Lor. Dari perkawinan ini menurunkan dua orang putra, yaitu Ida Wayan Buruan dan Ida Ketut Buruan. Dang Hyang Dwijendra mempunyai dua asrama (gria), yaitu di desa Mas dan di desa Gelgel. Tiap-tiap hari purnama atau tilem Sira Mpu tetap masuk ke istana menghadap Dalem diiringi oleh cucu-cucu beliau yang masih kecil, Ida Wayan Buruan. Pada hari-hari baik sedemikian itu Dalem dipuja oleh Mpu Dang Hyang dengan Weda pangjaya-jaya dan diperciki air tirtha yang telah diberikan mantram kekuatan batin ketuhanan. Dengan hal demikian lambat laun Dalem menjadi seorang raja besar perbawanya, karena segala batin kependetaan ada pada beliau, namun sayang beliau belum mau mediksa karena belum bersih hatinya didahului oleh Kyayi Penyarikan Dauh Baleagung.



(16) DALEM WATURENGGONG BERGURU,

MEDIKSA



Diceritakan Mpu Dang Hyang Angsoka, kakak dari Dang Hyang Nirartha membuat suatu karangan yang diberi nama Smara Rencana dikirim ke Bali kepada adiknya, kemudian dibalas dari Bali oleh Mpu Nirartha dengan kidung Sarakusuma. Dengan demikian Dalem tahu bahwa Dang Hyang Angsoka seorang pendeta yang pandai, maka niatnya timbul akan berguru kepada beliau. Lalu Dalem mengirim utusan ke Daha untuk menghaturi Dang Hyang Angsoka datang ke Bali untuk menjadi gurunya sekalian memberi padiksaan. Tetapi Dang Hyang Angsoka menolak permintaan Dalem Bali. Beliau berkata kalau di Bali sudah ada Dang Hyang Nirartha yang lebih pandai darinya. Beberapa lama kemudian, tiba-tiba turun Betara Mahadewa dari gunung Agung, diiringi oleh sang Boddha datang ke Gelgel menemui Dalem, beliau lalu bersabda, “Anakku Dalem Waturenggong, jika tidak terus engkau berguru kepada Mpu Dang Hyang Dwijendra, karena tidak ada pendeta yang sama dengannya, tidak dapat dielakkan lagi bahwa negara akan kacau, anakku. Segala tanah tidak bisa dipetik buahnya, penyakit akan mengembang, musuh akan timbul banyak, dan tidak selamat negara olehmu,” demikian sabda Beliau lalu musnah dari pandangan.



Dalem Waturenggong menyembah dan berjanji akan menaati sabda Betara. Setelah itu Dalem memohon dengan hormat kepada Dang Hyang Dwijendra untuk berguru dan didiksa. Mpu Dang Hyang dengan gembira meluluskan permohonan Dalem, karena telah lama dinanti-nantikan. Hari untuk mediksa dipilah hari purnamaning kapat (purnama bulan keempat dalam kalender Bali). Setelah tiba hari yang baik itu, maka dengan upacara kebesaran Dalem didiksa oleh Mpu Dang Hyang. Setelah selesai upacara pediksan itu, Mpu Dang Hyang memberi nasihat tentang tatacara orang memangku kerajaan dan supaya jangan lupa kepada Tuhan dan leluhur. Tetapi tatkala sedang menguncarkan Weda Puja, jangan memegang genta, menyamai Bhatara namanya, sangat berbahaya. Setelah itu Sri Aji Waturenggong kian mashyur namanya memegang pemerintahan, negaranya tenteram kerta raharja, makmur sandang pangan, tidak ada penyakit merajalela, dan tidak ada musuh timbul.



(17) SIRA AJI KRAHENGAN DARI SASAK



Pada suatu ketika Sri Aji Waturenggong mempermaklumkan kepada Dang Gurunya bahwa negara Bali sering diserang oleh Sri Aji Krahengan dari Sasak (Lombok) yang sangat sakti dan pandai mengubah diri (maya-maya) dan ahli melayang. Acapkali prajurit Dalem kalah dalam pertempuran di tepi laut, hanya itu saja yang menggangu negaranya. Sebab itu beliau memohon nasihat bagaimana caranya menghadapi musuh itu. Dang Hyang Dwijendra menjawab, “nanak Waturenggong, baiklah, aku akan coba pergi ke Sasak sebagai utusan nanak, untuk dating kepada Sira Aji Krahengan mengadakan persahabatan. Oleh karena untuk keselamatan bersama, lebih baik bersahabat daripada bermusuhan. Bersahabat akan lebih banyak mendapat keuntungan bersama, sedangkan kalau bermusuhan banyak mendapat kerugian. Akhirnya, pada suatu hari baik, Dang Hyang Dwijendra berlayar dengan menumpang jukung. Pelayarannya lancar dan tidak mendapat aral suatu apa. Setibanya di Sasak, langsung beliau masuk ke dalam purinya Sri Aji Krahengan. Ketika Sri Aji melihat pendeta datang, segera beliau turun dari tempat duduknya dan menjemput sang pendeta dengan hormat dan dipersilakan duduk dekat dengan beliau. Setelah bersama-sama menikmati

suguhan minuman, maka Sri Aji Krahengan berkata dengan hormat menenyakan perihal kedatangan sang pendeta. Dang Hyang Dwijendra menjelaskan maksud beliau datang, itu atas perkenan, bahkan merupakan utusan dari Dalem Waturenggong untuk mengadakan suatu ikatan persahabatan kepada Sira Aji Krahengan.



Dan Hyang juga menyatakan bahwa dengan persahabatan kita akan dapat memupuk rasa persaudaraan dan memecahkan masalah bersama, sebagai tanda persahabatan, Dang Hyang mengatakan bahwa ada baiknya kalau Sira

Aju memberikan salah seorang putrinya untuk menjadi istri Dalem Waturenggong.

“Sang pendeta, harap dimaafkan saja, karena kami tidak dapat memenuhi sebagai anjuran sang pendeta itu. Sebaiknya sang pendeta pulang saja!”



Dengan hal yang demikian sang pendeta keluar dari dalam puri seraya mengeluarkan kata-kata kutukan, “Semoga si Krahengan surut kesaktianmu dan surut kebesaranmu!” Demikian kata beliau seraya menuju pesisir, naik ke atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau Bali. Setelah beliau tiba di Gelgel kembali, sang pendeta dijemput Dalem Waturenggong dengan khidmad.

“Wahai Dang Guru, apakah berhasil usaha Dang Guru di sana?” tanya Dalem Waturenggong ketika mereka duduk bersama. “Nanak Waturenggong, tidak berhasil usahaku mengadakan ikatan persahabatan kepada si Krahengan dan aku telah memberi kutukan (pastu) agar ia surut kewibawaannya, tidak lanjut menjadi ksatria,” jawab sang pendeta.



(18) PURA RAMBUT SIWI



Setelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di

Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa

tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat

perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat

Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau

berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem

tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan

perjalanan bertirthayatra itu.

Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di

daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang

biasanya pura itu dujaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik

parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap

orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih

dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang

tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu

menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci

itu. Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali.



Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia

tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka.

Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang

yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang

penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan

dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang

merupakan rencangan parahyangan ini.

Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau

bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya

agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti

perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan

bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya

mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama

kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik

parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia

minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia

menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.

Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan

kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun

kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk

yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi



selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi

penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat

persembahyangan itu. Selanjutnya beliau emutuskan untuk tinggal lebih lama

di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para

penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang

untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani

sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu

agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena

beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan

meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan. Para penduduk sangat

sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau

berada di sana.mereka memohondengan sangat agar sang Mpu bersedia

tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan

para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan

memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu

untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya.

Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura

Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali

Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS

PRANGBAKAT. Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk

memohon berkah.



Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak

menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta

berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak

menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula

yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran

agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi

dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan

diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar

masyarakat menjadi selamat dan tentram.



(19) PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT)

Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan

cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan

sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana.

Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang,

maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur

menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya

kepada sang pendeta. Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan

alam yang dilaluinya dan dilihatnya.

Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran

Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan

menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu

membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis

daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya

beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di

tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci

suasananya. Lalu beliau berhenti di sana. Kemudian dilihat oleh orang-orang

penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang

pendeta masing-masing membawa persembahannya.



Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu

menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang

pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu.

Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang

yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu

karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi

kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.

Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat parahyangan

di sana, dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak

di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.



(20) PURA ULUWATU DAN PURA BUKIT GONG

Besok paginya setelah melakukan Surya Sewana, maka Mpu Dang

Hyang Nirartha berangkat dari Pakendungan ke arah tenggara dengan jalan

darat menyusuri pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu tanjung yang

menonjol ke laut bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung itulah yang

beliau tuju. Perjalanan agak dipercepat di pantai, air laut sedang surut.

Setibanya di sana maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi dari

batu karang seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya diperiksa keadaan batu

karang itu ke utara, ke barat, ke selatan, dan ke timur serta diperhatikannya

pula pemandangan yang ada di sana. Sungguh-sungguh indah dan bebas lepas

ke seluruh dunia. Kemudian terdengar bisikan jiwa beliau bahwa tempat itu

baik untuk memuja Sang Hyang Widhi dan terutama tempat “ngeluhur”

melepas jiwatmanya kelak ke alam surga.

Akhirnya beliau mengambil keputusan membuat kahyangan di

tempat itu. Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat asrama di

sebelahnya untuk menetap sementaramengerjakan kahyangan itu. Pekerjaan

membuat kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang yang dekat di

sana. Setelah beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi nama

Pura Uluwatu. Di tempat asrama Mpu Dang Hyang lama-kelamaan didirikan

juga sebuah kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura Bukit Gong.

0 komentar:

Posting Komentar

logo
Copyright © 2012 Basa Cerbon ~ اللغة سيريبون ~ يودى الشريف.
Blogger Template by Clairvo