Sejarah
SEJARAH CIREBON
KESULTANAN CIREBON
KESULTANAN Cirebon merupakan kesultanan di pantai utara Jawa Barat dan
kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Cirebon pada saat sekarang
merupakan nama satu wilayah administrasi, ibu kota, dan kota. Nama
Cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang meliputi
kabupaten-kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Sumber-sumber naskah tentang Cirebon yang disusun oleh para keturunan
kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal dari akhir abad
ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber naskah setempat, yang
dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta.
Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang
dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires -mengunjungi Cirebon
pada tahun 1513-yang berjudul Suma Oriental.
Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti
Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban
Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad
Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-1 menyebutkan
bahwa kota Cirebon berasal dari kata ci dan rebon
(udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di
Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil
(rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi
menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Di Pasambangan terdapat sebuah pesantren yang bernama Gunung Jati yang
dipimpin oleh Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati). Di pesantren inilah
Pangeran Walangsungsang (putra raja Pajajaran, Prabu Siliwangi) dan
adiknya, Nyai Rara Santang, pertama kali mendapat pendidikan agama
Islam.
Pada awal abad ke-16, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan
Pajajaran. Pangeran Walangsungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran
sebagai juru labuhan di Cirebon. Ia bergelar Cakrabumi. Setelah cukup
kuat, Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dan bergelar
Cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, Walangsungsang dan Nyai
Rara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah ia
memindahkan pusat kerajaannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian
didirikan keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.
Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Cirebon adalah
Walangsungsang, namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya
menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah yang oleh Babad
Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo). Sumber
ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan
pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon
dan kemudian juga Banten.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam, Sunan
Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan Pajajaran yang belum
menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di
Jawa Barat.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Negarakertabhumi dan Purwaka
Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal
dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa
pemerintahannya, Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kendati
demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam suasana
perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan
terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Senapati,
membantu para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk memperkuat tembok
yang mengelilingi kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja Cirebon
sebagai keturunan orang suci karena Cirebon lebih dahulu menerima
Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai
penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian pulau
Jawa.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya
yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu
kerajaan hanya sampai pada masa Pnembahan Girilaya (1650-1662).
Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah
oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya
(Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan
dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan
Kanoman dengan gelar Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta, mendapat
tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang
merupakan sumber tenaga).
Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi
lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan menjadi proteksi VOC.
Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal dunia (1697), terjadi
perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian
mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh. Dalam Perjanjian Kertasura
1705 antara Mataram dan VOC disebutkan bahwa Cirebon berada di bawah
pengawasan langsung VOC.
Walaupun demikian kemunduran politik itu ternyata sama sekali tidak
mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat keagamaan di Jawa Barat.
Peranan historis keagamaan yang dijalankan Sunan Gunung Jati tak pernah
hilang dalam kenangan masyarakat. Pendidikan keagamaan di Cirebon
terus berkembang. Pada abad ke-17 dan ke-18 di keraton-keraton Cirebon
berkembang kegiatan-kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal
ini antara lain terbukti dari kegiatan karang-mengarang suluk,
nyanyian keagamaan Islam yang bercorak mistik. Di samping itu,
pesantren-pesantren yang pada masa awal Islam berkembang di daerah
pesisir pulau Jawa hanya bertahan di Cirebon; selebihnya mengalami
kemunduran atau pindah ke pedalaman.
Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah
kekuasaan dan pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan
masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki
pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi Kesultanan
Cirebon. Misalnya, melaksanakan Panjang Jimat (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.***
KESULTANAN BANTEN (1568-1813)
KESULTANAN yang pada masa jayanya meliputi daerah yang sekarang
dikenal dengan daerah Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Sejak
abad ke-16 sampai abad ke-19 Banten mempunyai arti dan peranan yang
penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara, khususnya
di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan. Kota
Banten terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang
lintas pulau Sumatra dan Jawa. Posisi Banten yang sangat strategis ini
menarik perhatian penguasa di Demak untuk menguasainya. Pada tahun
1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasi menguasai Banten.
Sebelum Banten berwujud sebagai suatu kesultanan, wilayah ini
termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran). Agama resmi kerajaan
ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di
Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat
pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan
(Banten Lor) hanya berfungsi sebagai pelabuhan. Menurut berita Joade Barros
(1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan
yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten
merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang
dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negri lainnya
diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah
kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan
Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang
lebih tiga abad.
Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai ketika Prabu Siliwangi,
salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menya-nyala
di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia
mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang
sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang
dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memluk agama
Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya
yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil
mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan
diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan
dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi akan adanya
pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono,
ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain
pihak, Pajajaran justeru menjalin perjanjian persahabatan dengan
Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah,
panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran)
bersama dua ribu pasukannya. Dalam perjalanan menuju Banten, mereka
singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang . Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran.
Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama laskar-marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanud din dan Syarif Hidayatullah
berhasil merebut Banten dari Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula
berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai.
Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan
ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra
sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini
berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara.
Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga
pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan
jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai
kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan (Banten Lor)
didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif
Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama.
Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin
diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten
Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak.
Sultan Maulana Hasanuddin
memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Ia telah memberikan
andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai
salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan
dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana
pendidikan islam seperti pesnatren. Di samping itu, ia juga mengirim
mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya.
Usaha yang telah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin
dalam menyebarluaskan Islam dan membangun Kesultanan Banten kemudian
dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya. Akan tetapi, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten mengalami kehancuran akibat ulah anak kandungnya sendiri, yaitu Sultan Haji, yang bekerjasama dengan kompeni Belanda. Ketika itu Sultan Haji diserahi amanah oleh ayahnya sebagai Sultan Muda yang berkedudukan di Surosowan. Akibat kerjasama kompeni Belanda dengan Sultan Haji,
akhirnya terjadilah perang dahsyat antara Banten dan kompeni Belanda.
Perang berakhir dengan hancurnya Keraton Surosowan yang pertama.
Meskipun keraton tersebut dibangun kembali oleh Sultan Haji
melalui seorang arsitek Belanda dengan megahnya, namun pemberontakan
demi pemberontakan dari rakyat Banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Perang gerilya bersama anaknya, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf,
seorang ulama dari Makassar dan sekaligus menantunya. Sejak itu,
Kesultanan Banten tidak pernah sepi dari peperangan dan pemberontakan
melawan kompeni hingga akhirnya Keraton Surosowan hancur untuk yang
kedua kalinya pada masa Sultan Aliuddin II Herman Willem Daendels . (1803-1808). Ketika itu ia melawan
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan
penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh para ulama
dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung
sampai Negara Republik Indonesia KH Wasyid (w. 28 Juli
188 dan “Pemberontakan Petani Banten” pada tahun 1888.
diproklamasikan kemerdekannya. Hal ini terlihat dari berbagai
pemberontakan yang dipimpin oleh para kiai dan didukung oleh rakyat,
antara lain peristiwa “Geger Cilegon” pada tahun 1886 di bawah pimpinan
Keberadaan dan kejayaan kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat
dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan
pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin .
Seperti masjid-masjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi
empat, namun kelihatan antik dan unik. Bila diamati secara jelas,
arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa. Hal
ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat
buah di bagian tengah; mimbar kuno yang berukir indah; atap masjid yang
terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang
disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi
kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa
sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan
masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang
didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna
. Dahulu, gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta
tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama.
Sekarang gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan
benda-benda purbakala. Selain itu, di Kasunyatan terdapat pula Masjid
Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung. Di masjid inilah
tinggal dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua.
Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan Banten masa
lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan.
Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Keraton Surosowan yang
hanya tinggal puing-puing dikelilingi oleh tembok tembok yang tebal,
luasnya kurang lebih 4 ha, berbentuk empat persegi panjang. Benteng
tersebut sekarang masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil
yang telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih ada
beberapa unsur, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng
Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu
Penulis
sengaja menulis tentang sejarah cirebon karena memang penulis sendiri
berasal dari salah satu desa di kabupaten cirebon. Penulis hanya
sekedar sharing, berbagi pengetahuan kepada rekan-rekan tentang sejarah
cirebon.
Mengawali cerita
sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan,
tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN
PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa
Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman
Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI
Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane
Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung
Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja
Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang
putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama
tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi.
Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada
tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang
Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong),
Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu
Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah
bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia
adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya.
Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya
Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan
menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh
Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan
diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung
Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal
Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang
semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku
bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela
(Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang
pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh
Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar
Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran
Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah
Suci Mekah.
Pangeran
Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara
Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan
seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya
dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan
Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian
dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang)
sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah
Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di
Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak +
14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta
peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga
membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu
Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara
(adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi
Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada
Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad,
Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di
Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah
dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut
menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam
di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai
anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon
untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran
Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan
sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran
(di Gunung Sembung sekarang)
Setelah
Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga
di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan
Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban
ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai
pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan
Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan
GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang
dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas
Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis.
Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan
Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana
lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim
upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif
Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada
Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak
mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara
yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui
lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk
berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab
yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon
sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala,
bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi
yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
0 komentar:
Posting Komentar