AJI SAKA _ Asal - Usul Aksara Jawa
Karya
klasik berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi teks
tentang cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab ( bumi
Majeti ) ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian
Prabu Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian menggantikannya sebagai raja di
Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan
antara para Adipati Brang Wetan (pesisir timur) melawan Prabu Banjaransari di
Kerajaan Galuh. Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di
rumah seorang janda bernama Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang
berguru kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang
sekali melihat banyak orang ditempat tersebut kesukaannya memakan daging
manusia. Oleh karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya
lewat Patih Trenggana agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan
persyaratan meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk
dibentangkan di tanah tersebut.
Raja
Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan tadi
memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan akhirnya sampai di
pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud menjadi buaya putih.
Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang Kamulan dan menggantikan kedudukannya
sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka. Sepeninggal
Dewatacengkar kerajaan Medhang Kamulan menjadi aman tenteram dan damai
kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah dan menciptakan
aksara Jawa yang disebut Dhentawyanjana. Diceritakan pula mengenai naga
Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia disuruh untuk
membunuh buaya putih di samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar. Naga
tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan diberi
nama Tunggul Wulung.
Raden
Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia
disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul yang
bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan
sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha dijadikan patih dengan
gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir
mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali ke Panungkulan dan selanjutnya
berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya
sedangkan Medhang dibawah kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa
kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri
Kandhihuwan moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing. Selanjutnya
kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh : (1) Prabu Andhong, (2) Sri
Andhongwilis, (3) Prabu Banakeling, (4) Sri Banagaluh, (5) Sri Awulangit, (6)
Ratu Tunggul, (7) Selaraja, (8) Mundhingwangi, (9) Mundhigsari, (10)
Jajalsengara, (11) Gilingwesi, (12) Sri Prawatasari, (13) Wanasantun, (14)
Sanasewu, (15) Raja Tanduran, (16) Rama Jayarata, (17) Raja Ketangga, (18) Raja
Umbulsantuin, (19) Raja Padhangling, (20) Ratu Prambanan, (21) Resi Getayu,
(22) Lembu Amiluhur, (23) Raden Laleyan, dan (24) Raden Banjaransari). Pusat
kerajaan di Medhang Pangremesan atau Jenggala.
Pada
saat pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa Sang
Hyang Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat yang akhirnya
sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu dengan
kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi raja di Kerajaan Galuh.
Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang Wetan melawan
Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.
Cerita
Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna sebagai
berikut :
1.
Ajisaka ; Aji = Raja ( pegangan raja ), Saka =
Pilar
2.
Majeti : Ma = Diterima ( keterima ),
Jet = Grenjet ( bijaksana , Ti = Pangesti ( doa khusuk )
Jet = Grenjet ( bijaksana , Ti = Pangesti ( doa khusuk )
Artinya : Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.
3.
Medang Kamulan -Kamulan = Mula = tempat asal muasal kehidupan
Beberapa
resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat Centhini yang
memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa Pertama ) pada abad ke.
17.
Ngasah paluning bangsa : Isih
tungkul padhadene
Ngalung anduk bebasane : Oglak
aglik gegondhele
Maling alok maling : Osoring
ketara
Sapa wani arumangsa?
KELAHIRAN
HA-NA-CA-RA-KA
Secara
garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi
itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama
berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut
sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar
pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi
secara tradisional.
Konsepsi
secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka
berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke
mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita.
Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak.
Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka,
Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak
misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi
ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949
dan Manikmaya (
Panambangan 1981 )
Dalam
manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 )
misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh
Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar
tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri
yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu.
Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran
Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi
ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau
ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau,
keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun
Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang
diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya,
terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya
meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan
Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan
dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji
Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu
terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1.
Ha-na-ca-ra-ka 2.
Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra
Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh
VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :
Dora goroh ture werdineki
: Dora bohong ucapannya
yakin
Sembada temen tuhu perentah : Sembada
jujur patuh perintah
Sun kabranang nepsu pituture
: Ku emosi marah
ucapannya
Cidra si Dora iku
Ingkar
: si Dora itu beringkar
Nulya Prabu Jaka anganggit
: Lalu Prabu Jaka
Menganggit / mengarang
Anggit pinurwa warna
: Anggit dibuat macam
Sastra kalih
puluh
: Sastra dua
puluh
Kinarya warga lelima
:
Dibuat warga lelima
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak
warganeki : Dari Ha-na-ca-ra-ka itu
sewarganya
Pindho Da-ta-sa-wala
: Dua Da-ta-sa-wala
Yeku sawarga ping tiganeki
: Yaitu
sewarga
ketiganya
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya
: Pa-dha-ja-ya-nya sewarganya
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate
:
Ma-ga-ba-tha-nga
keempatnya
Iku
sawarganipun
: itulah sewarganya
Anglelima sawarganeki
: Lima-lima satu
warganya
Ran sastra sarimbangan
: Nama sastra sarimbangan
Iku milanipun
: Itulah
sebabnya
Awit ana sastra Jawa
: Mulai ada hufur Jawa
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
: Mulai diberi harakat satu per
satu
Weneh-weneh ungelnya
: Macam-macam lafalnya
Teks
diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 :
385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang
sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II (
Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan
Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya
ha-na-ca-ra-ka.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan
bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi (
1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi
generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta
pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab
perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain
Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih
merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu
sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga
yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi
( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan
kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX.
Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar
abad tersebut.
Praduga
Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam
sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di
sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka
wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu
tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling
warung.
Demikianlah
ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen
ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan
warung.
Akan
tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang
terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka
diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003
( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan
tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan
dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama
dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di
Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka
bertahta.
Sementara
itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji
Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia
bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan
abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat
berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara
ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII (
sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan
secara eksplisit.
Warsito
( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing
berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar.
Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan
tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat
lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat
Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang
Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga
menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau
Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang
Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara
yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno,
1941 : 3 – 6 )
Di
kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari
aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk
persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah
aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan
penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut
sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka
dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya
bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang
menemui ajalnya secara tragis.
Selian
yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada
dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan
tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak,
menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik
yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan
Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan
lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan
simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya
pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26
). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil,
apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau
Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya
Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk
memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga
di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari
persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas
kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda
yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu
dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis
masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua (
dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya
terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga
ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut
akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya,
pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain
itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal
dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri
pencipta aksara tersebut.
Konsepsi
secara Ilmiah
Kelahiran
pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan
perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai
alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti
bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen,
1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir
pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta
perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara
diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah
orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik
Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku
tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan
untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap
berlangsung.
Hasil
teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting
dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan,
politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa
tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang
mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa
peradaban tanpa tulisan.
Dalam
sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang
ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan
penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah
bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa
prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari
beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang
menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah
karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi
Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles (
1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara
yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 )
bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan
bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The
History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada
juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka
berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada
yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah
Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ”
tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus
bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup
( makhluk ).
Maksudnya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin yang
tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ”
menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ”
atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun
manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Filsafat
Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX
Filsafat
ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai
bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura
adalah ” Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan
Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta
Hadiningrat “. Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura ( 1992 : 9 – 10 )
bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara
ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai
berikut.
Nora
kurang wulang wuruk : tak kurang piwulang dan ajaran
Tumrape
wong tanah Jawi : bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune
ngagesang : perilaku dalam kehidupan
Lamun
gelem anglakoni : jika mau
menjalaninya
Tegese
aksara Jawa
:
maknanya aksara Jawa
Iku
guru kang sejati
: itu guru yang sejati
Ha
Na Ca Ra Ka
MAKNA
HURUF
Haa
Hana hurip wening suci
= Adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Hana hurip wening suci
= Adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci
Na
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara
= Pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara
= Pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi
Ca
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
= Satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi
= Satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra
Rasaingsun handulusih
= Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Rasaingsun handulusih
= Rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani
Ka
Karsaningsun memayuhayuning bawana
= Hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan
= Menerima hidup apa adanya
Karsaningsun memayuhayuning bawana
= Hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan
= Menerima hidup apa adanya
Ta
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
= Mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa
= Mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa
Sifat ingsun handulu sifatullah
= Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Sifat ingsun handulu sifatullah
= Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan
Wa
Wujud hana tan kena kinira
= Ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
Wujud hana tan kena kinira
= Ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La
Lir handaya paseban jati
= Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Lir handaya paseban jati
= Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi
Pa
Papan kang tanpa kiblat
= Hakekat Allah yang ada disegala arah
Papan kang tanpa kiblat
= Hakekat Allah yang ada disegala arah
Dha
Dhuwur wekasane endek wiwitane
= Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Dhuwur wekasane endek wiwitane
= Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar
Ja
Jumbuhing kawula lan Gusti
= Selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Jumbuhing kawula lan Gusti
= Selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya
Ya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
= Yakin atas titah /kodrat Illahi
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
= Yakin atas titah /kodrat Illahi
Nya
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki = Memahami kodrat kehidupan
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki = Memahami kodrat kehidupan
Ma
Madep mantep manembah mring Ilahi
= Yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Madep mantep manembah mring Ilahi
= Yakin – mantap dalam menyembah Ilahi
Ga
Guru sejati sing muruki
= Belajar pada guru nurani
Guru sejati sing muruki
= Belajar pada guru nurani
Ba
Bayu sejati kang andalani
= Menyelaraskan diri pada gerak alam
Bayu sejati kang andalani
= Menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai
= Tumbuh dari niatan
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai
= Tumbuh dari niatan
Nga
Ngracut busananing manungso
= Melepaskan egoisme pribadi -manusia
Ngracut busananing manungso
= Melepaskan egoisme pribadi -manusia
KELAHIRAN
HA-NA-CA-RA-KA
Secara
garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi
itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama
berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut
sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar
pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.
Konsepsi
secara tradisional.
Konsepsi
secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka
berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke
mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita.
Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak.
Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka,
Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak
misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi
ingkang Tanpa Sekar
(
Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan
1981 )
Dalam
manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 )
misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh
Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar
tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri
yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu.
Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran
Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi
ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau
ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau,
keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun
Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang
diamanatkan Aji Saka.
Akibatnya,
terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya
meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan
Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya.
Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya,
Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan
itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :
1.
Ha-na-ca-ra-ka 2.
Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga
Sastra Sarimbangan itu, antara lain
terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan
27 sebagai berikut :
Dora goroh ture
werdineki
: (Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah : (Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture : (Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku : (Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit : (Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna : (Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh : (Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima : (Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki : (Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala : (Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki : (Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya : (Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate : (Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun : (itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki : (Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan : (Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun :(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa : (Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji : (Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya : (Macam-macam lafalnya)
Sembada temen tuhu perentah : (Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture : (Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku : (Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit : (Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna : (Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh : (Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima : (Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki : (Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala : (Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki : (Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya : (Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate : (Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun : (itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki : (Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan : (Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun :(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa : (Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji : (Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya : (Macam-macam lafalnya)
Teks
diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 :
385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang
sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II (
Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan
Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya
ha-na-ca-ra-ka.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan
bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi (
1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi
generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta
pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab
perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain
Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih
merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu
sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga
yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi
( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan
kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX.
Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar
abad tersebut.
Praduga
Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam
sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di
sebelah timur Demak, seperti berikut :
Mangka
wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu
tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling
warung.
Demikianlah
ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen
ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan
warung.
Akan
tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang
terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka
diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003
( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan
tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan
dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama
dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di
Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka
bertahta.
Sementara
itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji
Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia
bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan
abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat
berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara
ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII (
sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak
disebutkan secara eksplisit.
Warsito
( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing
berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar.
Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar
merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
Pendapat
lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat
Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang
Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga
menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau
Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang
Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara
yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno,
1941 : 3 – 6 )
Di
kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari
aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk
persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah
aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan
penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut
sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka
dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya
bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang
menemui ajalnya secara tragis.
Selian
yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada
dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan
tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak,
menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik
yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan
Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )
Dugaan
lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan
simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya
pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26
). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil,
apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau
Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya
Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk
memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga
di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari
persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas
kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda
yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu
dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis
masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua (
dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya
terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga
ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut
akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya,
pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain
itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal
dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri
pencipta aksara tersebut.
Konsepsi
secara Ilmiah
Kelahiran
pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan
perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai
alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti
bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen,
1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir
pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta
perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara
diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah
orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik
Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih
berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi
keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan
tetap berlangsung.
Hasil
teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting
dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan,
politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan
dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang
mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa
peradaban tanpa tulisan.
Dalam
sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang
ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan
penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah
bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa
prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari
beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang
menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah
karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi
Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles (
1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara
yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 )
bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan
bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The
History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )
Ada
juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka
berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban
menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada
yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah
Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La
berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ”
tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus
bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya
berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup (
makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh, cocok ” tunggal batin
yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ”
menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ” sekedar menang ”
atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga
berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun
manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Jakarta,
Senin Pahing, 15 Desember 2008
pukul
; 09.45 – by Satmata
Ada Fersi Lain
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan
bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar
yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa
oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan
mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang Kamulan ada seorang
pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka
berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun.
Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari
Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji
Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala
Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan menuju
Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari
tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan
budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati
hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.
Aji Saka tiba di Medang
Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih
Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani, Aji
Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh
sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya.
Saat mereka sedang
mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga
luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah
mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.
Ketika Prabu
Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu.
Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian
hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan.
Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan
yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke
jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar